Kebodohan mengikis kebenaran yang hakiki

Kebodohan mengikis kebenaran yang hakiki

Rabu, 20 April 2011

Tatkala Salafi Memilih Berdemonstrasi












Revolusi” Mesir memang sudah berlalu, Mubarak pun sudah lengser dari jabatannya. Namun, ada pelajaran dari peristiwa tersebut.
Peristiwa “Revolusi 25 Januari” tidak hanya mengubah rezim, namun juga mengubah pandangan yang selama ini digunakan oleh komunitas Muslim yang menamai diri mereka sebagai penganut salaf alias Salafi. "Revolusi Mesir pada tanggal 25 Januari, memaksa mayoritas orang berfikir dan meninjau ulang pemahaman yang mereka miliki, yang sebelumnya pemahaman itu tidak bisa dikritik dan ditinjau ulang, lebih-lebih untuk bisa diubah," demikian, Khalid As Syafi’i, penulis buku “Ana Wahabi Fa Kana Madza?” (Saya adalah Wahabi, Memang Kenapa?), yang juga berasal dari komunitas tersebut, mengakui hal itu. (onislam.net, 8/3)
Sebab itulah, Khalid menulis otokrotik untuk komunitasnya sendiri, untuk meninjau ulang beberapa pandangan fikih yang sebelumnya digunakan, khususnya dalam masalah hubungan antara hakim (penguasa) dengan mahkum (rakyat). Masuk dalam persoalan ini hukum demontrasi, pemberontakan, serta nahi munkar terhadap penguasa.

Saat demontrasi melawan kezaliman penguasa menyebar di dunia Arab, Syeikh Abdul Aziz Alu As Syaikh selaku Mufti Saudi, yang juga menjadi rujukan dalam komunitas ini, telah mengeluarkan pernyataan dalam khutbah Juma’at (4/2) yang ditujukan kepada para pemuda di berbagai negara, bahwa demonstrasi bisa menyebabkan timbulnya fitnah dan kesesatan.

Ia juga menyatakan pandangan dalam masalah fikih bahwa demontrasi tidak disyariatkan. Mufti juga menyeru agar para pemuda menjauh aktivitas ini.

Namun, pendapat mufti Saudi di atas, tidak sepenuhnya didukung oleh Salafi Mesir. Komunitas Salafi Kairo lebih memilih turun ke jalan bergabung dengan demonstran lain di lapangan Tahrir. Para tokoh komunitas ini seperti Syeikh Muhammad Abdul Maqsud, Syeikh Nasy’ad Ahmad, Syeikh Fauzi Sa’id, beserta ratusan muridnya ikut bergabung dengan demonstran sepanjang revolusi, hingga Husni Mubarak lengser pada tanggal 11 Februari 201.

Syeikh Muhammad Hasan yang juga ditokohkan dalam komunitas ini, mengaku di kanal Ar Arabiya, bahwa ia bergabung dengan demonstran di lapangan Tahrir bersama anak-anaknya. Muhammad Hasan juga muncul di kanal Al Mahwar pascatragedi “Rabu Berdarah”, dan menyatakan terang-terangan bahwa pemerintah sudah kehilangan legitimasi.

Ia juga menyatakan bahwa penggunaan kekerasan oleh aparat terhadap demonstran adalah hal yang dilarang syari’at, sebagaimana dinukil onislam.net (26/3)

Sedangkan Syeikh Muhammad Abdil Maqsud dalam sebuah khutbah Jumat juga mengajak jama’ah untuk bergabung dalam revolusi yang ia sebut sebagai revolusi yang diberkahi itu, demikian disebutkan onislam.net (26/3)

Namun, Salafi Iskandariyah berbeda dengan Salafi Kairo. Pada tanggal 8 Februari 2011 mereka mengadakan muktamar untuk menyikapi revolusi Mesir. Hasilnya, mereka akhirnya menyuarakan tuntutan secara terang-terangan kepada pemerintah agar diakhirinya UU Darurat dan dilakukan pembebasan tahanan yang ditangkap tanpa alasan.

Mereka juga menuntut agar penguasaan partai pemerintah Hizb Al Wathani terhadap media diakhiri Di samping itu mereka meminta pengaktifan UU pasal 2, yang menyebutkan bahwa syari’at merupakan sumber hukum, dalam perundang-undangan Mesir.

Mereka memilih tidak bergabung dengan demonstran, karena alasan ikhtilath dan agar rakyat tidak dinilai sebagai radikal, dengan bergabungnya mereka dalam demontrasi. Hal ini dijelaskan oleh Syeikh Ahmad Farid, salah satu tokoh Salafi di wilayah pesisir tersebut, sebagaimana disebutkan dalam koran As Syuruq, seperti dinukil oleh Al Mafkarat (6/3).

Namun, bukan berarti demontrasi dilarang mutlak, jika perkara yang dilarang, menurut mereka, seperti ikhtilath tidak terjadi. Sehingga Syeikh Ahmad Farid sendiri menyeru turun ke jalan untuk menuntut agar UU pasal 2 tidak diutak-atik, padahal sebelumnya komunitas sangat antipati terhadap demonstrasi.

Untuk hal ini, Syeikh Ahmad Farid menjelaskan,”Fatwa bisa berubah, sesuai dengan tampat dan waktu. Wasilah untuk mengungkapkan pendapat sekarang sudah jelas, yakni demonstrasi. Undang-Undang memperbolehkan untuk melakukannya. Hal ini bukan termasuk keluar dari hakim.” Sebagaimana dilansir Al Mafkarat (6/3)

Walau tidak setuju dengan demontrasi yang saat itu berlangsung, karena disertai perkara yang menurut mereka dilarang, namun komunitas ini toleran kepada mereka yang memilih turun ke jalan. Dr. Yasir Burhami yang juga ditokohkan dalam komunitas ini menyatakan dalam kanal Al Majdi, bahwa pendapatnya yang tidak mendukung demonstrasi adalah perkara yang benar, tapi memungkinkan untuk salah, demikian juga pendapat tokoh lain yang mendukung demonstrasi. Salah tapi memungkinkan benar. Sebab itu, ia membolehkan penilaian mereka yang wafat dalam peristiwa revolusi sebagai syuhada, sesuai dengan niat mereka, demikian disebutkan taseel.com, (21/3)

Mereka yang Tidak Setuju

Namun, tidak semua anggota komunitas ini menyetujui demonstrasi dan menasehati penguasa secara terang-terangan seperti yang dilakukan oleh para tokoh, baik dari Kairo maupun Iskandariyah. Di antara mereka adalah Syeikh Musthafa Al Adawi, Syeikh Mahmud Al Mishri, serta Syeikh Muhammad Husein Ya’kub. Mahmud Al Mishri sendiri sempat menyeru para demonstran untuk meninggalkan lapangan Tahrir.

Sedangkan tokoh yang belum menunjukkan sikap pro atau kontra adalah Syeikh Abu Ishaq Al Huwayyini. Di samping tidak muncul lagi di televisi, telefonnya juga tidak aktif. Sehingga, sampai saat ini belum dikatahui sikapnya mengenai revolusi Mesir, sebagaimana disebutkan taseel.com (21/3)

Walhasil, peristiwa “revolusi Mesir” di samping menjelaskan “peta” komunitas Salafi dalam merespon revolusi, juga menjelaskan adanya perubahan pendapat dalam masalah hubungan rakyat dan penguasa. Kini terlihat, para tokoh Salafi ada yang memandang bahwa demontrasi dan mengkritik pemerintah terang-terangan dibolehkan, tentunya dengan syarat-syaratnya.*


Foto: Syeikh Muhammad Hasan (baju putih) dan Syeikh Ahmad Farid

(sumber :Hidayatullah.com)



Akhirnya, Salafi pun Bolehkan Pemilu










Perubahan pemikiran yang dianut komunitas Muslim yang menyatakan diri mereka sebagai pengikut salaf atau Salafi, semakin mencolok pasca terjadinya “revolusi Mesir”. Bukan hanya mengoreksi ulang pendapat mereka mengenai demonstrasi dan menyampaikan kritik secara terang-terangan kepada penguasa (baca artikel sebelumnya, Tatkala Salafi Memilih Berdemonstrasi), namun pendapat fiqih yang berkenaan dengan masalah pemilu juga tudak luput dari koreksi.
Pada hari Jumat (18/2), sebagaimana dilansir oleh situs berita lokal Mesir, Al Yaum As Sabi’ (19/2), komunitas ini melaksanakan muktamar di Manshurah, Mesir. Awalnya muktamar ini merupakan bentuk dukungan agar UU Pasal 2, yang menyatakan bahwa syari’at adalah sumber hukum Mesir, agar tidak diutak-atik. Namun pembicaraan juga berisi seruan untuk meninjau ulang pandangan mengenai pemilu.
Syeikh Muhammad Hasan selaku salah satu pembicara menyatakan,”Saya meminta kepada para syeikh kita untuk meninjau kembali, terhadap hal-hal yang telah diterima pada tahun-tahun sebelumnya, seperti masalah pencalonan dalam parlemen dan syura, serta (pencalonan) presiden dan pemerintahan. Saya meminta kepada para syeikh kita untuk berkumpul untuk mengurai masalah ini, agar para pemuda kita terhindar dari fitnah dan bercerai berai.”

Sepertinya, usulan Syeikh Muhammad Hasan kepada para tokoh Salafi untuk mengoreksi ulang pendapat mengenai hukum mengikuti pemilu, mendapatkan sambutan. Syeikh Ahmad Farid, yang juga salah satu tokoh komunitas Salafi Iskandariyah juga menyatakan bahwa pembentukan partai politik masih merupakan kemungkinan-kemungkinan. Demikian dikutip Al Mafkarah (6/3), dari Koran As Syuruq. Hal ini menunjukkan tekad komunitas ini berpartisipasi dalam pemilu.

Respon terhadap usulan itu semakin besar dengan berkumpulnya para tokoh Salafi yang tergabung dalam jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah untuk membahas hukum berpartisipasi dalam pemilu. Akhirnya, pada tanggal 12 Maret 2011 Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah Pusat secara resmi mengumumkan pandangan mereka dalam situs resminya, elsunna.com. Salah satu poin dari keputusan menyebutkan,”Kami tidak melihat adanya larangan syar’i untuk berpartisipasi dalam perpolitikan, baik di parlemen, syura, serta parlemen lokal, karena hal itu merupakan wasilah dakwah kepada masyarakat umum.”

Demikian juga, mereka menyarankan agar para dai tidak mencalonkan diri, hingga menyebabkan aktivitas dakwah terganggu. Disamping itu, himbauan ditujukan kepada umat Islam agar dalam pemilu penentuan presiden, mereka memilih calon yang paling memiliki perhatian kepada urusan umat Islam. Keputusan ini hasil dari musyawarah Ahli Syura jama’ah ini, diantaranya adalah Dr. Abdullah Syakir, Syeikh Muhammad Husein Ya’kub, Syeikh Muhammad Hasan, Dr. Jamal Al Murakibi, Syeikh Musthafa Al Adawi, Syeikh Abu Bakr Al Hanbali, Syeikh Wahid Abdussalam Bali, serta Syeikh Jamal Abdurrahman.

Menurut sebagian komunitas Salafi, mereka ikut pemilu agar jangan sampai posisi penting diduduki ahlul bid’ah yang bisa mengancam Ahlu Sunnah.

Sebelum diturunkannya berita mengenai bolehnya mengikuti pemilu oleh dua tokoh Salafi Yordan, Masyhur Hasan Salman dan Ali Al Halabi, oleh Al Jazeera, beberapa komunitas yang juga mengaku sebagai Salafi telah memilih berpartisipasi dalam pemilu, dan mencalonkan diri sebagai anggota perlemen, walau sebelumnya mereka menolak.

Adalah Tajammu Al Islami As Salafi, komunitas Salafi Kuwait, telah memilih bergabung dalam parlemen. Sebelumnya, komunitas Salafi Kuwait yang saat itu diwakili oleh Jama ah Ihya At Turats menolak mengikuti pemilu pada tahun 1981, dengan alasan bahwa parlemen tidak berhak membuat hukum. Hanya Allah lah yang menentukan hukum, namun setelah itu mereka memilih masuk perlemen sebagaimana tercatat dalam profil peserta pemilu Kuwait yang dipublikasikan oleh koran Al Qabas (11/4/2009).

Akan tetapi, Khalid Sulthan, salah satu anggota parlemen dari At Tajammu` menyatakan bahwa organisasi itu bukan sayap politik Ihya At Turats. Namun, menurutnya, kedua-duanya adalah Salafi yang tidak bertentangan satu sama lain, sebagaimana dipublikasikan dalam situs resminya, alislami.org.

Masih menurut koran Al Qabas, salah satu pijakan yang digunakan oleh komunitas ini dalam mengikuti pemilu adalah fatwa yang menyatakan bolehnya mengikuti pemilu. Menurut fatwa itu, dengan mengikuti pemilu, beberapa posisi penting tidak diduduki oleh orang-orang yang tidak benar dan ahlul bid ah, di mana mereka bisa memaksakan kekuasaan kepada ahli Sunnah dan pihak-pihak yang melakukan perbaikan. Hal ini adalah ancaman yang membahayakan orang-orang baik.

Sebagaimana ditulis dalam situs resminya, alislami.org, organisasi ini bercita-cita mewujudkan perbaikan dalam masyarakat Kuwait, dengan Al Qur`an dan As Sunnah sesuai dengan manhaj salaf as shalih. Dalam pemilu tahun 2008 Tajammu Al Islami As Salafi tercatat memperoleh 4 kursi di parlemen Kuwait.

Selain, At Tajammu , komunitas Salafi di Bahrain, Jam iyah Al Ashalah Al Islamiah, juga mendirikan organisasi politik yang dipimpin oleh Syaikh Adil Al Mu awidah, seorang tokoh Salafi. (sumber: Hidayatullah.com)

Dianut Tokoh Salafi Yordan

Sebenarnya, pendapat bolehnya mengikuti pemilu bukan hanya pandangan sejumlah tokoh Salafi Mesir pasca revolusi saja. Sebelumnya beberapa tokoh Salafi di luar Mesir juga telah meninjau ulang pendapat yang mereka anut mengenai pemilu. Dua tokoh Salafi Yordan yang saat ini masih dijadikan rujukan sebagian komunitas Salafi Indonenesia, yakni Syeikh Ali Al Halabi dan Syeikh Masyhur Hasan Ali Salman telah menyatakan bahwa berpartisipasi dalam pemilu merupakan hal yang dibolehkan, sebagaimana dilansir Al Jazeera (26/10).

“Sesungguhnya Salafiyin tidak mendukung pencalonan untuk Pemilu, namun mereka memandang bahwa memilih siapa yang lebih utama dan lebih baik serta paling banyak positifnya dan paling minim negatifnya untuk maslahat umum adalah hal yang diperbolehkan.” Kata Syeikh Ali Hasan kepada Al Jazeera.

Masih menurut Syeikh Al Halabi, “Syeikh Al Albani juga memiliki pendapat membolehkan berpertisipasi dalam Pemilu, di saat itu beberapa muridnya menyeselisihi dengan dengan menggunakan adab.Hari ini, sebagai dampak dari perkembangan pemikiran dan memandang sebagai maslahat umum, kami kembali kepada pendapat Syeikh Al Albani, tentang bolehnya mengikuti pemilu parlemen.” Ungkap Al Halabi

Demikian pula Syeikh Masyhur Hasan Ali Salman menyatakan, “Pemerintah telah meminta kepada kalian untuk mengikuti Pemilu, dan hal itu bukanlah keharaman. Janganlah kalian melakukan pemboikotan. Pemboikotan bukanlah ibadah. Adalah orang yang salah jika ia berfikir melakukan ibadah kepada Allah dengan melakukan pemboikotan”

Namun, perubahan pendapat beberapa tokoh Salafi Mesir dan Yordan masih terhitung “lambat” dibanding saudara-saudara mereka di Kuwait dan Bahrain. Di KuwaitAt Tajammu’ As Islami As Salafi telah bergabung dengan parlemen. Sebelumnya, tahun 1981 komunitas Salafi yang saat itu diwakili Ihya’ At Turats memboikot pemilu, namun setelah itu mereka bergabung dalam parlemen.

Walau dalam situs resminya ( alislami.org), Khalid Sulthan, salah satu anggota parlemen dari At Tajammu` menyatakan bahwa organisasi itu bukan sayap politik Ihya At Turats. Namun, menurutnya, kedua-duanya adalah Salafi yang tidak bertentangan satu sama lain.

Sedangkan di Bahrain, komunitas Salafi juga sudah bergabung dengan parlemen. Di bawah komando Syeikh Adil Al Mua’wwidah, pada 6 Mei 2002, didirikanlah Al Ashalah Al Islamiyah, organisasi politik yang pada pemilu tahun 2010 lalu memperolah 4 kursi.

Berhadapan dengan Realita

Yang dialami Salafi sebenarnya pernah juga dialami oleh Al Ikhwan Al Muslimun di masa awal, dimana akhirnya mereka terjun ke wilayah politik walau sebelumnya menolak. Keputusan itu diambil ketika idealisme yang mereka miliki terpaksa harus berhadapan dengan realita, seperti dikatakan oleh pengamat gerakan Salafi Timur Tengah, Bassam Nashir, sebagaimana dikutip Al Jazeera (26/10)

Syeikh Al Qaradhawi sendiri, sebagaimana dilansir situs resmi beliau, qaradawi.net (22/12), juga pernah menyinggung mengenai perubahan pendangan fiqih komunitas Salafi, khususnya dalam masalah pemilu.

Beliau memandang perubahan ini terjadi karena beberapa faktor,”Tidak diragukan lagi, bahwa realitalah yang mengharuskan mereka berubah. Termasuk di dalamnya, karena persinggungan dengan dunia luar dan keluarnya mereka ke nagara-negara di dunia, setelah sebelumnya banyak dari mereka tidak keluar dari negara-negara mereka, yang menyebabkan tidak adanya perubahan dan pemikiran menuju perubahan.”

Beliau melanjutkan,“Ketika Salafi keluar dan berbaur dengan berbagai bangsa, ia akan mengitropeksi diri. Sebagaima ada yang memperluas bacaannya dan menelaah kitab-kitab yang tidak sempat ditelaah sebelumnya. Manusia bukanlah batu, ada hal-hal yang bisa memberi bekas kepada peribadi seseorang.”

Walhasil, pasca jatuhnya Mubarak, semakin banyak barisan tokoh-tokoh Salafi yang akhirnya setuju dengan pemilu. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga sebagian tokoh komunitas ini yang masih memandang bahwa berpartisipasi dalam pemilu merupakan perkara yang diharamkan. (sumber: Hidayatullah.com)

Senin, 04 April 2011

Catatan Perjalanan : Pondok Ban Tan (Oleh Anies Baswedan)













Pondok Ban Tan
oleh anies baswedan

Ya Nabi salam alaika . . .
Ya Rasul salam alaika . . .
Ya habibie salam alaika . . .
Shalawatullah alaika . . .


Sekitar seribu anak-anak menghampar di lapang rumput depan pondok. Lautan kerudung dan peci putih, melafalkan shalawat, khusuk dan menggema. Suasana pondok Pesantren Ban Tan malam ini terasa unik. Pondok kecil ini dibangun di pedalaman Thailand Selatan. Utk mencapai-nya harus terbang dari Bangkok, jaraknya sekitar 750 km ke kota kecil Nakhon Si Thammarat lalu dari airport yang kecil itu, naik mobil kira2 satu jam ke pedalaman. Masuk di tengah2 desa-desa dan perkampungan umat Budha, disitu berdiri Pondok Ban Tan. Dibangun awal abad lalu dengan beberapa orang murid. Niatnya sederhana, menjaga aqidah umat Islam yg tersebar di kampung2 yang mayoritas penduduknya beragama Budha.Melihat wajah anak-anak pondok, seperti kita sedang menatap masa depan. Anak-anak yang dititipkan orang tua-nya untuk sekolah ke Pondok, untuk menjaga sejarah kehadiran Islam di kerajaan Budha ini. Di propinsi ini mereka berdampingan dengan damai. Sebuah tradisi yang harus dijaga terus.Malam ini, setelah berliku perjalanannya, seakan jadi salah satu event puncak utk keluarga pengasuh pondok ini. Di awal tahun 1967 terjadi perdebatan panjang diantara para guru di Pondok ini. Anak tertua Haji Ismail, pemimpin pondok ini, jadi bahan perdebatan. Anak usia 17 tahun itu memenangkan bea-siswa AFS untuk sekolah SMA setahun di Amerika Serikat.

Pondok Ban Tan seakan goyah. Tak terbayangkan bagi mereka, dari perkampungan Muslim yang kecil, jauh dari keramaian, dan di pedalaman Thailand di tahun 1960an, cucu tertua pendiri Pondok akan dikirimkan ke Amerika. Umumnya santri-santri cerdas dikirim melanjutkan sekolah ke Jawa atau Kedah atau Kelantan; jika ada dana mereka akan dikirim ke Makkah atau Mesir. Tapi Amerika ?!?; tidak pernah terlintas di benak mereka akan mengirim santri belajar ke Amerika. Saat itu para guru di pondok terpecah pandangannya: separoh takut anak ini akan berubah bila dikirim ke negeri kufar (istilah yang digunakan dalam perdebatan itu), mereka tidak ingin kehilangan anak cerdas itu.

Setelah perdebatan panjang, Si Kakek, pendiri Pondok itu, mengatakan, "saya sudah didik cucu saya ini, saya percaya dia istiqomah dan saya ikhlas jika dia berangkat". Ruang musyawarah di pondok itu jadi senyap. Tidak ada yang berani melawan fatwa Sang Guru. Haji Ismail, sang ayah, mengangguk setuju. Tidak lama kemudian berangkatlah anak muda tadi ke Amerika.

Tahun demi tahun lewat. Dan dugaan guru-guru Pondok itu terjadi: anak itu tidak pernah kembali jadi guru pondok. Dia tidak meneruskan mengelola warisan kakek dan ayahnya itu. Dia pergi jauh. Anak muda itu terlempar ke orbit lain.

Malam ini anak yang dulu diperdebatkan itu pulang. Dia pulang bukan sebagai orang asing, dia pulang membawa kebanggaan untuk seluruh keluarga, seluruh pondok dan seluruh rakyat di propinsi kecil ini.

Dia pulang sebagai Sekretaris Jendral ASEAN. Pondok Ban Tan jadi terkenal, kampung halaman jadi perhatian dunia. Sebelumnya dia adalah menteri luar negeri Thailand, muslim pertama yang jadi Menlu di Negara berpenduduk mayoritas Budha.

Namanya dikenal oleh dunia sebagai Surin Pitsuwan; dikampungnya dia dikenal sebagai Abdul Halim bin Ismail.

Malam ini Surin pulang kampung membawa teman dan koleganya. Sekarang seluruh bangunan Pondok ini nampak megah. Setiap bangunan adalah dukungan dari berbagai negara. Anak ini pulang dengan membawa dukungan dunia utk Pondok mungil di pedalaman ini. Semua adiknya menjadi guru, meneruskan tradisi dakwah di kampung halamannya.

Saya menyaksikan bahwa sesungguhnya, Surin selalu "hadir" disini, dia membawa dunia. Dia menjadi jembatan lintas peradaban, dia jadi duta Muslim Thailand di dunia.

Dia tidak pernah hilang seperti ditakutkan guru-gurunya. Dia masih persis seperti kata Kakeknya. Sejak pertama kali saya ngobrol dengan Surin, 3 tahun lalu di Hanoi, tutur kata dan pikirannya seakan mengatakan: isyhadu bi ana muslimin.

Ramadhan kemarin, saat kita makan malam -Ifthar bersama- di Bangkok, Surin cerita tentang ASEAN Muslim Research Organization Network (AMRON) conference di Walailak University dan ingin undang ke Pondoknya awal Oktober. Saya jawab tidak bisa karena ada rencana acara di Bandung. Sesudah itu, dia kirim beberapa sms meyakinkan bahwa ke "Ban-Tan" lebih utama daripada ke "Ban-Dung".

Saat duduk di Masjid Al-Khalid, bersama ratusan santri, bersyukur rasanya merubah jadwal, dari ke Bandung jadi berangkat ke Ban Tan. Saya sholat Isya’ berjamaah duduk disamping Surin, selesai sholat ratusan tangan mengulur, semua berebut salaman dengannya. Wajah takjub santri-santri itu tidak bisa disembunyikan, mereka semua seakan ingin bisa seperti Surin. Dia seakan jadi visualisasi nyata, dari mimpi-mimpi para santri di kampung kecil di pedalaman Thailand.

Malam itu, di pelataran Pondok Ban Tan dibuatkan panggung utk menyambut. Santri-santri bergantian naik panggung. Mereka ragakan kemahiran bercakap melayu, inggris dan arab. Sebagai puncak acara mereka tampilkan Leke Hulu (Dzikir Hulu). Tradisi tarikat yang sudah dijadikan seni panggung. Seluruh santri ikut berdzikir, gemuruhnya menggetarkan dada.


Besok paginya Syaikhul Islam Thailand, pemimpin Muslim tertinggi di Thailand khusus datang dari Songklah, kota di sisi selatan, untuk sarapan pagi bersama di Pondoknya. Kita ngobrol panjang dan saya tanya asal keturunannya, karena garis wajahnya berbeda; dia jawab kakek saya dari Sumatera, tapi dia keturunan Hadramauth.

Hari itu saya bersyukur. Saya katakan itu pada Surin bahwa ini perjalanan luar biasa. Tapi dia belum puas, Surin panggil salah satu alumni pondoknya (seorang doktor ilmu management) untuk antarkan saya ke Masjid di kampung-kampung pesisir pantai untuk dikenalkan dengan Ustadz keturunan Minang.

Setelah melewati kampung-kampung dan pasar yang sangat-sangat sederhana, saya sampai di rumahnya yang sangat sederhana, di belakang Madrasah yg dipimpinnya. Kita berdiskusi tentang suasana disini, tentang Minang, dan tentang kemajuan. Lalu dia ambil bingkai-bingkai dari lemari, dia tunjukkan beberapa foto-foto orang tuanya, ayahnya dipaksa hijrah dari Maninjau di Ranah Minang karena perlawanan pada Belanda. Kira-kira 90 tahun yang lalu, dia sampai di Thailand Selatan dan jadi guru agama. Mengagumkan, anak-anak muda pemberani memang selalu jadi pilar kokohnya Dienul Islam. Mereka hadir dan hidup berdampingan penuh kedamaian.

Lengkap sudah perjalanan kali ini. Dalam satu rotasi ditemukan dengan komunitas yang kontras. Di Kuala Lumpur, berdialog dengan kalangan bisnis dan politik dalam ASEAN 100 Leadership Forum dengan suasana megah, di Thailand Selatan berdialog dengan kaum Muslim minoritas dengan suasana sederhana, sangat bersahaja.

Sekali lagi kita ditunjukan betapa hebatnya efek pendidikan. Beri fondasi aqidah, bekali dengan modal akhlaqul karimah lalu biarkan anak muda terbang mencari ilmu, membangun network, merajut masa depan. Anak muda tidak takut menyongsong masa depan. Kelak ia akan pulang, menjawab doa ibunya, menjawab doa ayahnya dengan membawa ilmu, membawa manfaat bagi kampung halamannya, bagi negerinya dan bagi umatnya.

Di airport kita berpisah. Saya pulang kampung ke Jakarta dan Surin berangkat ke Brussel, memimpin delegasi para kepala pemerintahan ASEAN dalam ASEAN-European Summit.

Hari ini anak yang dulu ditakutkan hilang itu akan memimpin delegasi pemimpin se-Asia Tenggara. Dan, pada hari ini juga Ibunya masih tetap tinggal di pondok Ban Tan, sekitar 90 tahun, tetap mendoakan anaknya seperti saat melepasnya berangkat sekolah SMA ke Amerika dulu.

Barakallahu lakum . . . .

Just landed in Jakarta; Oct 4, 2010; 00.30 am.(Sekadar catatan pendek, sebuah perjalanan singkat. Ditulis di pesawat dalam perjalanan pulang ke Jakarta)